Beberapa waktu yang lalu di blog ini, saya sempat mengunggah sebuah gambar hasil kreasi saya yang berkaitan dengan Jama’ah. Nah, bicara soal Jama’ah, kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman saya, yang menurut saya sih ini sangat bermanfaat, terutama bermanfaat untuk saya dan teman-teman sebaya di lingkungan kampung saya, yaitu kampung Bugisan atau juga disebut dengan kampung Bratang, ya karena nama gangnya itu Gang Bratang. Kampung saya berada di kota Ngawi, Jawa Timur.
Pengalaman ini bermula pada bulan September tahun 2013 (untuk tanggalnya saya lupa, hehehe...), di waktu itu selesai shalat Magrib. Saya dengan beberapa teman, yaitu Dimas, Angga, dan Latif sedang berbincang-bincang santai di pelataran masjid. Ya bincang-bincang santai gitu, kayak anak-anak muda lainnya. Tapi di tengah perbincangan itu, munculah sebuah gagasan bagus yang datang dari Dimas. Sebuah gagasan yang bermaksud untuk menggugah semangat anak-anak muda di lingkungan kampung saya, untuk giat shalat Magrib berjama’ah. Ya agar giat, ini dikarenakan mulai enggannya anak-anak muda di lingkungan kampung saya ini untuk menyempatkan diri shalat berjama’ah di masjid. Ya, mungkin kebanyakan dari mereka mulai merasakan rasa malas di dalam hatinya. Berlatar belakang masalah itulah, Dimas menyampaikan gagasannya.
“Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendirian sebanyak 27 kali lipat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)Gagasan itu mengenai pelaksanaan kegiatan kumpul-kumpul remaja bugisan setiap malam minggu yang direalisasikan dalam bentuk kegiatan “Arisan”. Ya, arisan, mungkin kamu berpikiran bahwa arisan itu identik dan hanya dilakukan oleh wanita, tapi realitanya tidak demikian. Arisan banyak juga yang dilakukan oleh pria, tua maupun muda, dengan tujuan untuk mendekatkan diri, silahturahmi dan mengakrabkan sesama, dan begitulah adanya yang juga dilakukan oleh bapak-bapak di kampung saya.
Bukan hanya karena itu, Dimas juga berpendapat bahwa dalam arisan itu tidak ada yang dirugikan karena pada dasarnya seperti menabung. Setiap peserta harus membayar sesuai dengan nilai yang sudah ditetapkan dan semua akan mendapatkan kembali uang atau barang senilai yang ia berikan.
Nah, berdasar gagasan tersebut, kami menyetujuinya dan telah disepakati bahwa malam minggu adalah jadwal rutin untuk membayar dan mengeluarkan arisan. Dan kegiatan itu diadakan setelah shalat Magrib dan berakhir ketika tiba shalat Isya'. Kami juga menetapkan iuran rutin sebanyak Rp1000,00, ya hal ini dikarenakan mayoritas dari kami waktu itu masihlah sebagai pelajar, jadi wajar jika kami menetapkan iuran sebesar itu (ya sesuai kantong). Setelah semua perencanaan selesai, maka tiba waktunya untuk mengajak teman-teman yang lain ikut serta dalam kegiatan ini.
Awal pertama semua berjalan lancar, banyak remaja yang ikut kegiatan ini. Bukan hanya ikut dalam kegiatan, tapi juga dalam shalat berjama’ah. Dari mereka yang tak pernah sekalipun untuk pergi ke masjid, akhirnya mereka mau pergi ke masjid. Nah, sepertinya saat itu ide Dimas berhasil. Namun, lambat laun berjalan hampir sekitar 1,5 bulan, semangat beberapa teman perlahan mulai kendor. Beberapa dari mereka mulai tidak datang, dan bahkan tidak membayar iuran rutin untuk arisan. Kebingungan, jelas kami kebingungan menghadapi problema ini, di samping mulai sepi kami pun bingung jika beberapa tidak membayar, maka bagi mereka yang belum mendapat arisan dan rutin membayar hal ini justru akan membuat mereka rugi. Padahal kita tahu bahwa dalam pelaksanaan kegiatan arisan itu harus adil, di mana masing-masing peserta mendapat hak dan kewajiban yang sama.
Tapi, kami tak tinggal diam, kami mencoba untuk membujuk teman-teman yang telah jarang datang itu. Kami hubungi, kami datangi rumahnya, kami ajak ngobrol baik-baik dan pasti santai tanpa tekanan (karena tekanan itu hanya akan membuat suasana menjadi tegang). Tidak menyerah, kami terus melakukannya, terutama Dimas dan Latif yang pandai bergaul. Dan akhirnya usaha kami tak sia-sia, teman-teman yang tadinya kendor semangatnya untuk ikut arisan dan shalat berjama’ah, kini mulai mengencangkan lagi semangatnya.
Kegiatan ini mulai aktif kembali, dan sampailah tiba waktunya saya dan Dimas untuk pergi sesaat meninggalkan teman-teman. Ya, pergi ke perantauan demi ilmu yang ingin didapat. Kebetulan waktu itu tepat pada waktu kelulusan saya dan Dimas dari bangku SMK. Lulus dari SMK, kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, terbukti hingga saat ini ada. Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan itu ada di kota lain, bukan di kota ini, maka mau tidak mau kami harus meninggalkan semua yang ada di kota kelahiran tercinta ini untuk sesaat. Ya, semua, termasuk kegiatan arisan ini.
Lalu selepas kepergian kami, bagaimanakan nasib kegiatan ini? Ya, mungkin dikarenakan pengorganisasian yang kurang begitu baik, kegiatan ini pun vakum. Kebetulan waktu itu kami berdualah yang paling tua, dan Dimas waktu itu adalah ketua dari Remaja Masjid di kampung saya. Dengan kepergian kami berdua, mau tidak mau harus ada pergantian pengurus baru. Namun, ya karena waktu itu belum sempat diadakannya pergantian kepengurusan, maka ya vakumlah kegiatan arisan ini. Ya walaupun kegiatannya vakum, tapi alhamdulillah semangat dari teman-teman yang shalat berjama’ah tidak turut begitu juga. Mereka masih tetap semangat untuk sekadar menyempatkan diri shalat Magrib di Masjid, hal itulah yang masih sempat saya lihat sewaktu pulang libur semester di masjid kampung. Dan bahkan dari mereka banyak yang bertanya-tanya, terutama bertanya kepada Dimas seperti ini, “Mas Dimas, kapan kita arisan lagi, kumpul-kumpul lagi?”
Itulah kiranya kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang. Berbekal dari kegiatan sederhana itu, mampu untuk menimbulkan rasa rindu dalam diri seseorang, dan berbekal dari kegiatan itu pula seseorang dapat berubah, terutama berubah menuju kebaikan...