NgeShare - Tinggal Kenangan


Di tengah-tengah keasyikan tatkala diri sedang membersihkan salah satu sudut ruangan rumah, saya tidak sengaja menemukan sebuah benda kecil bersejarah. Ya, bersejarah dalam hidup saya. Sebuah telepon pintar yang dulu pernah jaya-jayanya menyebar. Sebuah telepon pintar yang dulu pernah menjadi milik sekaligus digunakan oleh almarhumah Ibu saya.

Entah sudah berapa lama telepon pintar ini terbengkalai di salah satu sudut ruangan rumah ini. Mungkin sekitar 4 atau 5 tahun semenjak sudah tidak pernah lagi bisa digunakan. Ah, jadi teringat masa lalu. Maaf ya, Bu. Anak bungsumu yang cengeng dan manja ini tiba-tiba menjadi teringat kenangan-kenangan saat ibu masih ada. Apalagi kenangan saat ibu masih belajar menggunakan telepon pintar ini. Mulai dari beberapa kebingungan yang Ibu alami terkait bagaimana cara menyimpan nomor telepon saudaranya, terkait bagaimana cara memunculkan huruf besar, hingga raut kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya ketika bisa mengabadikan foto anaknya yang baru saja diwisuda.

Saya masih mengingat betul tentang bagaimana alasan saya membelikan telepon pintar ini dan kemudian saya berikan kepada Ibu. Berawal dari ketidaksengajaan melihat Ibu sedang mengobrol dengan salah satu budhe yang memamerkan sebuah foto di telepon genggamnya. Pada waktu itu, saya melihat Ibu nampak begitu antusias melihatnya. Dari antusiasnya itu juga, saya melihat ada keinginannya untuk bisa seperti itu, dan dari momen itu saya jadi memiliki niat untuk membelikannya sebuah telepon genggam. Namun, saat itu saya menyadari kalau saya belum memiliki rezeki untuk bisa menunaikan niatan tersebut.

Lantas kenapa beliau tidak membelinya sendiri?

Barangkali ada pertanyaan semacam ini yang kawan-kawan pikirkan. Saya pun awalnya juga punya pertanyaan semacam ini kepada Ibu. Namun, karena belum menjadi benda yang begitu dibutuhkan atau diprioritaskan, membuat Ibu tidak lekas membelinya. Maklum, di keluarga saya, hanya Bapak yang bekerja. Dengan gaji yang tidak begitu besar, mesti dicukup-cukupkan, terutama untuk kebutuhan yang lebih penting seperti biaya sekolah anak. Bapak sendiri juga tidak menggunakan telepon genggam, baginya telepon rumah itu sudah cukup. Menurut Bapak dan juga Ibu, telepon rumah lebih mudah digunakan karena tampilannya yang simple, tidak membingungkan seperti telepon genggam yang memuat banyak tampilan. Katanya, biarlah anak-anaknya saja yang menggunakan telepon genggam.

Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah ada sedikit rezeki yang bisa saya sisihkan sewaktu kuliah. Dengan adanya sedikit rezeki tersebut, saya kembali teringat dengan niatan saya yang ingin membelikan Ibu sebuah telepon genggam. Gayung pun bersambut, niatan itu akhirnya bisa saya tunaikan selepas beberapa hari mendengar kabar dari Bapak bahwa tidak akan lagi menggunakan telepon rumah dikarenakan tarif langganannya yang selalu naik dan unitnya yang bermasalah.

Mendengar hal itu, dan kebetulan ada seorang kawan yang baru saja membuka usaha konter HP kecil-kecilan dekat rumah. Membuat saya iseng-iseng menanyakan apakah di konternya ada unit telepon gengam yang harganya sesuai dengan budget yang saya miliki. Syukur alhamdulillah, ada satu unit yang sesuai, meskipun tidak baru. Blackberry bekas dengan harga sekitar Rp200.000-an, menjadi telepon pintar pilihan saya. Ya, walaupun tidak mahal, tidak baru, dan juga sudah termasuk jadul pada masanya, tapi setidaknya masih bisa digunakan, pikir saya. Dan itupun juga merupakan prinsip yang dulu selalu diajarkan oleh Ibu dan Bapak kepada saya.

Selepas membeli telepon pintar itu, saya lantas memberikannya kepada Ibu tanpa memberitahukan niat saya sebelumnya. Biar surprise, pikir saya. Dan benar saja, ekspresi Ibu sewaktu saya memberikan telepon pintar ini terlihat begitu bahagia. Beliau tidak terlihat kecewa apalagi protes. Padahal tampilan telepon pintar itu sudah tidak mulus dan terlihat lecet di beberapa sisi-sisinya. Mungkin karena itu pemberian dari anaknya.

Sekarang, semua hal itu tinggal kenangan dan Ibu saat ini sudah tenang di sana. Bu, saya paham bahwa Ibu dan Bapak tidak pernah sekalipun menuntut agar anak-anaknya menjadi orang hebat, cukup menjadi orang baik untuk orang-orang di sekitarnya, barangkali itu sekiranya harapan kalian berdua. Namun, melalui tulisan ini, izinkan saya untuk meminta maaf. Ya, maaf, karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk kalian berdua, terutama untuk Ibu.

Bu, aku sayang Ibu, baik-baik di sana ya...

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

1 Komentar

  1. Postingan ini mengandung bawang 😭..saya jadi teringat juga saat ibu saya punya hp baru, awalnya hanya hp Nokia yg model simpel..bukan yg banyak qwerty mirip blackberry, ibu cuman bisa telpon dan terima aja karena kalo ketik SMS gak keliatan dan susah ngetik...sekarang cuman tinggal kenangan

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama