NgeShare - 10 Puisi Yang Memiliki Kata-Kata Indah

by - 1/28/2024

Ilustrasi: blog.hubspot.com.

Puisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti, yaitu ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Selain itu, puisi juga berarti gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Sedangkan menurut Wikipedia, puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang gaya bahasanya sangat ditentukan oleh irama, rima, serta penyusunan larik dan bait.

Ngomong-ngomong soal puisi, akhir-akhir ini saya sedang suka mencari dan juga membaca puisi. Bukan untuk pentas atau pertunjukan tentunya, hanya sekadar untuk hiburan diri. Baik itu puisi yang bertema percintaan, perjuangan, religius, ataupun demokrasi. Menarik sekali rasanya ketika membaca puisi-puisi tersebut. Entah kenapa saya merasa tenggelam dalam nikmatnya kata-kata yang tersaji di dalamnya.

Ya, nikmatnya kata-kata dalam puisi. Sudah barang tentu kita ketahui bersama kalau di dalam puisi terdapat kata-kata indah yang memiliki makna. Dan makna tersebutlah yang ingin disampaikan oleh penyair/ penulisnya. Bicara soal kata-kata indah yang terdapat di dalam puisi, kali ini saya ingin membagikan 10 puisi yang memiliki kata-kata indah menurut versi saya.

Nah, berikut adalah 10 puisi yang memiliki kata-kata indah di dalamnya:

10 Puisi Yang Memiliki Kata-Kata Indah

1 | Puisi Aku Ingin Karya Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


2 | Puisi Perjalanan Pulang Karya Joko Pinurbo

Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.

Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.

Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.

Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.

Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.

Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu.

Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.

Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.

Andaipun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.

Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.

Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?

Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.

katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.

Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.

Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.

Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.

Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.

Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.

Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.

Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.

Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.


3 | Puisi Latihan Pergi Karya Weslly Johannes

Hidup adalah latihan pergi
Dari satu kata menuju kata lain
Dari satu kota menuju kota lain
Sebelum kita benar-benar pergi
Dari semua kata, dari semua kota
Tanpa membawa satu pun iota

Bersama-sama kita telah berlatih
Membesarkan hati untuk pergi
Meluaskan hati untuk ikhlas melepas
Sementara hati kita kian besar dan luas
Diri kita justru menjadi terlalu kecil
'tuk membawa hati pergi ke lain hati

Akan tetapi, hidup adalah pergi
Dari satu hari menuju hari yang lain
Dari tanggal satu menuju tanggal lain
Sebelum kita benar-benar pergi
Dari semua hari, dari semua tanggal
dan takkan pernah tahu, di hati mana:

Kita tetap tinggal.


4 | Puisi Petuah Ayah Karya Adimas Immanuel

Nak, hati ibu tak luas,
tak juga punya ornamen indah.
Tetapi, Nak, di sana teduh,
di sana semegah-megahnya tempat ibadah.


5 | Puisi Kupinang Engkau Dengan Sajak Karya Mathori A. Elwa

kupinang engkau, kekasih
dengan sajak
suka dan duka kita satukan
petaka dan keberuntungan
ialah malam dan siang
marilah kita sama-sama dekap
erat-erat
di setiap laut pasti ada ombak
karena angin adalah kekasihnya
dan setiap cinta ada nyerinya
karena cemburu adalah darah apinya
rindu kita sudah sama-sama mendidih lama sekali
dan setiap pagi
di musim dingin nanti
kita akan mandi bersama
air hangat kehidupan
agar kita sama-sama tahu
makna sesungguhnya kebersamaan
kita telah lama berangkat dewasa
hingga ingin menjadi kanak-kanak semula
pada hari libur suamimu akan bersiul di depan rumah
minum kopi kelegaan
ada saat di mana pekerjaan dan tetekbengek soal masyarakat
kita anggap sebagai bola sepak atau sarana olahraga
atau makanan tambahan dari kehidupan
engkau memasak makanan favorit kita
dan aku membersihkan mobil dan beranda
melupakan kemiskinan
hari-hari akan kita lalui dengan mulus
dan setiap malam jumat kita harus beribadah
agar menghasilkan anak yang berkualitas
kehidupan harus kita seduh bersama
agar seperti kopi atau teh nasgitel
sedap rasanya
kematian dan duka cita
kapan-kapan pasti datang
seperti godaan dan kesulitan-kesulitan
besar atau kecil
sudah pasti ada
dan itulah realitas. Ah!
tapi kita harus tersenyum terus
menyambut apa atau
siapapun yang datang ke rumah kita
jangan tanya mau apa
kita akan berikan apa yang terbaik bagi tamu tuhan itu
apa yang ia mau
mungkin kita bisa membantu
melaksanakan kebajikan
yang susah direalisirnya
ketika sore tiba
kita sediakan waktu yang khusus untuk
memikirkan hal-hal yang terdalam
dari kehidupan yang serba materialistik ini
dan jika malam tiba
kita bisa beribadah lagi
sebagai suami-istri
kita perlu nafkah batin
dan saat yang tepat
setelah shalat? isya?
untuk saling menyelimuti
kita bersyukur diciptakan sebagai manusia yang sempurna
dan lengkap
punya hati, onderdil unik yang hebat
dan berfungsi
meskipun nampak aneh ketika kita sama-sama bercermin
orang lain tetap tak boleh
tahu detil apa yang kita lakukan
dengan benda-benda aneh dan rahasia kita
anugerah yang mahakuasa
dulu ketika kecil
kita mungkin pernah berkhayal menjadi pengantin
dan nanti kita tidak sedang berkhayal lagi
sudah tidak musim
kita sudah sama-sama dewasa
bukan kanak-kanak mula
meskipun jika kita berdua
malam-malam begini
kita sudah lupa
bahwa kita benar-benar jadi anak-anak kembali
manja sekali
kupinang engkau suatu saat
secepatnya
setiap makhluk ada pasangannya
(kalau tidak, bukan makhluk namanya)
aku sudah besar
engkau pun demikian
tunggu apa
kita sama-sama mapan
jika ada masalah
semua dapat ditata
kesulitan pasti ada
karena itu tantangan
lelaki sejati pantang menyerah
perempuan sejati juga pantang menyerah
apapun bisa saja terjadi
dan kita dianugerahi otak dan hati
tuhan menyediakan doa, sedekah dan sillaturrahmi
sebagai fasilitas spiritual
untuk mengubah takdir dan nasib buruk
garis hidup yang misterius
tapi benar-benar nyata
ada kalanya kita juga bisa pening
menghadapi peliknya hal dan soal
ada kalanya kita mudah melupakannya
itulah isi dunia
kita punya banyak kehendak
tuhan yang menentukan
(salah sendiri banyak keinginan
mestinya satu, dua, atau tiga saja)
selebihnya wallahua?lam, tawakkal
kita serahkan
baik atau buruk
sudah digariskan
tapi tetap saja kupinang engkau segera
setiap pagi ada embun
hinggap di apa saja
tapi tidak setiap siang ada matahari
tak setiap malam ada bintang atau rembulan
tapi terimalah lamaranku, kekasih
agar matahari tetap bersinar
bintang-bintang menghiasi langit
dan purnama kehidupan
mewarnai malam-malam kita
pepohonan tumbuh atau berguguran
alam bernyanyi
seperti burung-burung yang berkicau di pagi buta
kehidupan jadi fajar
cinta kita hangat dan berangsur membara
agar istirah kita
di senja nanti enak dan surga
kita sepakat untuk tidak mudah marah
dan cemburu buta
apalagi keluar sumpah serapah
kita punya mulut yang bagus
untuk saling berciuman
bukan saling mengumpat
kita punya tangan yang lentur dan sempurna
untuk saling meraba
bukan saling menampar
kita punya badan dan jiwa yang sehat
untuk bergesekan dan bersetubuh
bukan saling berjauhan
dan terimalah bisikan cintaku
dan pasrah jiwaraga
di haribaanmu yang lembut dan suci

kupinang engkau dengan sajak
dan cinta
setiap duka ada akhirnya
setiap luka ada obatnya
setiap lakon ada endingnya
tapi inilah awal kita memulai
membuat lakon bersama
mengarungi takdir yang lebih baru
melintasi samudra cinta kasih
menuju kebahagian lahir dan batin
sesuai pancasila
dan undang-undang dasar ?45…


6 | Puisi Sebuah Pelukan Untuk Selamanya Karya Helvy Tiana Rosa

Beberapakali aku menemukan mimpiku sendiri
terjerembab di depan pintu, kuyup oleh hujan.
Seperti pakaian kotor berulangkali kucuci
dan kujemur di halaman luas.
Pada saat saat seperti itu aku ingat
wajah dan matamu saat bicara;
selalu teduh dan meneguhkan

Kau ingat, katamu: hidup hanya sebentar,
tapi bagaimana agar tak sekadar,
agar yang sejenak itu bisa gores makna
pahat ada kita di hadapanNya.
Katamu: hidup adalah pilihan
untuk bertindak di jalan cinta

Bolehkah kugenggam bayangmu
kala menapak cita dan asa?
Bolehkan sekadar kupinjam punggungmu
untuk menulis puisi puisi liris
yang tak henti menangis?
Dimanapun kau berada,
bolehkah kuhirup aroma ketulusanmu senantiasa?

Kulihat lagi kelebat bayangmu, gagah di beranda
Diam, tak menatap, tak memeluk
seperti yang selalu dilakukan pemeran utama pria
di film-film Hollywood, kepada pemeran utama wanita,
kala mereka harus berpisah dengan atau tanpa rencana.

“Sebab tak ada pelukan yang lebih erat dari doa,
katamu pada pertemuan terakhir kita.
Maukah kupeluk kau selalu,
selamanya dengan cara itu?

(Depok, Januari 2012)


7 | Puisi Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa Karya W.S. Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditantang seratus dewa.

(1972)


8 | Puisi Melepas Karya Wisnu Hyd

Ucapan pahit itu
Mengakhiri perasaannya yang tulus
Jiwa tangguhnya runtuh seketika
Mimpi-mimpinya berhamburan meluap
Terpeluk musim yang semakin dingin
Senyuman yang membekas itu
Perlahan menjauhi pandangannya yang sayu
Tenaganya terkuras habis
Tergeletak tanpa bisa mengejar lagi
Dengan tertunduk ia berbalik
Melangkahkan kaki menuju hari esok
.. ah sudah waktunya
Ia harus melambaikan tangan
Membiarkan dara itu lenyap sekehendaknya
Meski dengan kemurungan yang mengendap
Relanya harus lebih lapang
Agar ia tak lagi kehilangan waktu terlelap
Untuk lebih kuat dan bermimpi lagi..


9 | Puisi Ada Wajahmu di Kaki Langit Karya Fiersa Besari

tadi malam, gunung diterpa hujan angin
dalam tenda, aku berdialog dengan Tuhan
- meski sebetulnya hanya satu arah,
setelah mendoakan Bapak,
aku mendoakanmu baik-baik saja di sana,

di tengah badai, aku memeluk kenangan kita,
kita pernah melengkapi langkah satu sama lain,
walau ujungnya jalan yang kita tempuh berbeda.
degup kita pernah seirama.
doa kita pernah satu rupa.
tangan kita pernah tak hendak melepas.
kita lebih purba dari sang waktu.
apa yang pernah kita punya, tak terdefinisikan.
wajar saja kalau aku mengingatmu sewaktu-waktu.
kau adalah seseorang yang pernah kukejar mati-matian
sebelum ujungnya membuat jiwaku mati sungguhan.

dan tatkala hujan berhenti,
aku bergegas melangkah keluar,
mencari kaki langit.

"di langit yang engkau tatap, ada rindu yang aku titip,"
katamu dahulu kala.

apa kabar?
sedang apa?
begitu banyak hal yang hendak kutanyakan.
namun bibir ini kelu.
aku hanya mampu menitipkan sepucuk surat di sudut cakrawala;
berharap akan kau baca.
atau jika tidak pun,
kau tahu bahwa hari ini aku memikirkanmu
- tak berlebihan, tak kekurangan.

akhirnya, "waktu" menimbun aku dengan debunya;
perlahan membuatmu tak lagi mengingatku.
aku tidak tahu lagi kau ada di mana,
sudah lama kita tidak lagi berusaha untuk saling menghubungi.
ini yang dulu kumau, bukan?
adalah gengsi yang membuatku tidak mau menyapamu.
mungkin kau pun sama:
bertahan di tepian keangkuhan,
tak mau jadi orang pertama yang mengucap salam.
walau, kurasa ini yang terbaik.
untuk apa kita saling menyiksa diri?

kembali untuk memperbaiki kesalahan,
dengan kembali untuk mengulangi kesalahan,
memang beda tipis.
dan aku tahu kita tidak mau terjebak euforia sesaat.

seorang sahabat menghampiriku lalu menepuk bahuku.
"untuk bersyukur, ada kalanya kita perlu memandang,
ada kalanya kita perlu terpejam,
ada kalanya kita perlu menengadah,
dan ada kalanya kita perlu bersujud.
jika tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan, berdoalah.
berdoalah dengan segenap-genapnya hati.
Tuhan tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan doa kita,"
ujarnya.

aku kembali memandang langit,
aku tahu
di sana
dapat kutemui dirimu


10 | Puisi Kafilah Nurani I Karya D. Zawawi Imron

Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah

Itulah 10 puisi yang memiliki kata-kata indah di dalam versi saya. Nah, kira-kira di antara 10 puisi tersebut apakah ada puisi favorit kamu? Kalau ada, bisa komen di bahwa ya. Terima kasih, hehe...
_____

NB: sumber puisi www.narakata.id.

Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

4 comments

  1. Puisi itu puitis banget,buat saya yang awam soal perpuisian,tapi ada beberapa yang saya suka,agak terlalu tinggi atau dalem banget kalimatnya,kadang saya harus membaca perlahan supaya gak gagal paham hehe,soalnya puisi tuh beda dengan cerita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul mbak, seringkali saya juga menjumpai puisi-puisi yang di dalamnya punya makna bagus, tapi ya kalau sekali dibaca rasanya memang belum cukup untuk bisa memahami maknanya, jadi ya mesti dibaca berulang kali baru bisa paham, hehe

      Hapus
  2. penggemaar puisi ayo ngumpul.keren2 emang ini puisinya, bbrp saya hapal hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kumpul sini skuy, bisa sekalian kasih rekomendasi puisi favoritnya lho, hehe...

      Hapus