Tadi malam, seorang kawan terlihat sedang merasakan kegalauan. Ya, kegalauan, sebuah tebakan yang saya persepsikan bukan tanpa alasan. Hal itu terlihat dari seringnya ia mengunggah status galau pada story Whatsappnya. Padahal, selama saya mengenalnya, ia jarang sekali mengunggah hal-hal terkait kegalauan atau kesedihan di sosial media, justru momen bahagia yang sering dibagikannya. Meskipun saya juga menyadari kalau mengunggah hal-hal terkait kesedihan, kegalauan ataupun kerinduan sekalipun di sosial media, bukan berarti kita sedang benar-benar merasakan perasaan tersebut.
Tapi untuk kali ini, benar saja tebakan saya itu. Ia memang sedang merasakan kegalauan. Perkara “kapan nikah”, ungkapnya setelah kami saling berkirim pesan singkat di Whatsapp. Usut punya usut, ternyata kegalauannya disebabkan oleh kekasihnya yang tak kunjung menunjukkan keseriusannya untuk bisa segera menuju ke jenjang yang lebih serius, yaitu “pernikahan”. Padahal keduanya bisa dibilang sudah sangat memenuhi persyaratannya.
Mulai dari usia yang sudah sangat matang, pekerjaan tetap yang dimimpikan banyak orang, hubungan asmara yang terjalin cukup lama, hingga keduanya yang sudah bertemu dan mengenalkan diri kepada orang tuanya masing-masing. Rasa-rasanya sangat disayangkan kan bila tidak segera sat set sat set menuju ke pelaminan? Tapi, ya entahlah, barangkali kekasihnya masih membutuhkan waktu dan kesiapan tertentu, yang justru membuat kawan saya menjadi ragu. Ya, ragu dengan keberlanjutan hubungan mereka itu.
Melihat teman-teman seumurannya telah menikah dan dikaruniai momongan, ditambah lagi dengan seringnya ia mendengar pertanyaan “kapan nikah?” dari orang-orang di sekitar, membuat kegalauan kawan saya kian menjadi-jadi. Sewajarnya seorang kawan, saya mencoba untuk menjadi pendengar atas keluh kesah kegalauannya. Ya, barangkali dengan ia bercerita, perasaannya bisa menjadi lebih baik. Tak lupa juga saya berusaha untuk menyemangatinya.
Alih-alih menyemangati kawan saya ini, saya justru seperti sedang menyemangati diri saya sendiri. Pasalnya saya memiliki usia yang hampir sama (beda 1 tahun di atas) dengan kawan saya ini. Usia (di atas 26 tahun) yang mayoritas orang bilang merupakan usia yang sudah matang untuk menikah. Oleh karena itu, munafik rasanya bila saya tak pernah merasakan hal yang sama. Tapi, saya selalu berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Jika terlalu memikirkannya, apalagi memikirkan omongan orang, justru hanya akan menjadi beban dan menahan kita untuk maju bukan? Bukankah alangkah lebih baik bagi kita untuk memikirkan atau fokus ke hal-hal lain yang lebih penting, seperti memperbaiki diri atau mencari jalan rezeki misalnya?
Saya menyadari bahwa menikah itu adalah hal yang penting dalam hidup manusia. Namun, tentunya untuk dapat menuju momen sakral itu membutuhkan kesiapan bukan? Terutama kesiapan mental dan finansial. Dan untuk dapat mencapai kesiapan itu, pastinya kita butuh yang namanya “proses”. Ya, proses, yang tiap-tiap dari kita memiliki perbedaan, baik dalam waktu memulainya, cara yang digunakannya, hingga tempatnya melaluinya, yang rasa-rasanya sangat tidak layak bila harus disamakan atau dibanding-bandingkan.
Di samping itu, saya juga menyadari bahwa egois merupakan sifat yang harus dihindari dalam sebuah pernikahan. Sementara saya sendiri saat ini kadang-kadang masih suka merasa egois. Terutama karena saya masih merasa asyik dengan diri sendiri. Masih merasa asyik ngopi sendiri, motoran sendiri, rebahan sendiri sambil scroll-scroll HP, hingga makan mie gacoan level 5 sendiri.
Saya masih menikmati momen-momen "me time" saya saat ini. Ya, walaupun kadang-kadang muncul juga perasaan ingin memiliki seseorang yang bisa diajak ngobrol, diajak jalan bareng, atau melakukan hal-hal random yang positif, dan kalau ketemu selalu merasa seperti pulang ke rumah. Tapi di satu sisi, saya khawatir bila membuatnya kecewa, terlebih karena keegoisan yang kadang-kadang masih saya rasakan.
Ya bayangkan saja bila suatu ketika sudah berkeluarga, apalagi kalau sudah memiliki anak. Misalkan saat anak menangis rewel dan istri sedang repot di dapur, sedangkan kita sedang ingin menikmati hari libur yang barangkali dengan rebahan atau bermain game online yang kalau kalah masih suka marah dan mengeluarkan ucapan berupa sumpah serapah. Bukannya sigap membantu, justru kesal karena merasa terganggu. Hal itu pastinya akan berdampak tidak baik dalam rumah tangga kan?
Untuk itu, saya merasa tidak ingin terlalu terburu-buru dan menikmati proses yang sedang saya tuju. Kalaupun orang lain prosesnya lebih cepat, sedangkan proses saya lebih lambat, biarlah. Saya berusaha untuk tidak minder atau berkecil hati, dan cenderung bodo amat. Toh, belum tentu juga yang prosesnya lebih cepat akan mendapat hasil yang lebih baik kan? Selalu yakin bahwa setiap proses yang sedang dijalani pada akhirnya akan membuat diri dapat mencapai satu persatu tujuan yang telah direncanakan selama ini.
Barangkali itu alasan yang membuat saya untuk memilih tidak terburu-buru menikah. Oiya, maaf ya, di sini saya tidak bermaksud mengajak teman-teman pembaca ataupun kawan saya tadi untuk membenarkan, apalagi memilih hal yang sama seperti yang telah saya pilih. Toh pilihan saya ini juga belum tentu terjamin benarnya. Tapi yang pasti, setiap orang kan boleh dan juga dapat menentukan pilihannya masing-masing yang baik bagi dirinya, dan pastinya pilihan itu didasari oleh rasa ingin lebih bahagia.
Lantas, apabila suatu ketika masih ada yang bertanya kepada saya terkait, "kapan nikah?". Jawaban saya masih sederhana dan mainstream, "nanti, kalau sudah siap, mohon do'anya ya". Atau kalau yang ingin jawaban anti-mainstream, barangkali bisa seperti jawaban dari Mawang pada video Youtubenya HAS Creative dengan judul "PWK – LAGU NUHINA HINU HINA HINU MENDUNIA, BUAT MAWANG KAYA??" di menit 18:12.
Oiya, btw mohon do'anya ya untuk kawan saya. Semoga kegalauannya mereda, kekasihnya yang akhirnya peka, dan harapannya (untuk menikah) dapat segera terlaksana. Terima kasih. 🙏
0 $type={blogger}:
Posting Komentar