Bagi sebagian orang yang mengenal alm. Bapak, barangkali sudah tidak asing lagi dengan sepeda ini. Sepeda jengki lama yang dulu sering digunakan alm. Bapak untuk mengantarnya berkeliling kota di waktu pagi. Sepeda lama dengan merk Phoenix yang saya beri nama "Jei" alias Jengki Ireng (padahal tulisan di tipenya aslinya warna hijau gelap, hehe...).
Meskipun Jei ini dulu sering digunakan oleh alm. Bapak, tapi sebenarnya pemilik asli dari Jei ialah almh. Ibu. Saya masih ingat, Jei ini dulunya adalah hadiah dari alm. Bapak untuk almh. Ibu. Alm. Bapak membelinya bekas dari rekan kerjanya, dan di waktu sore sebelum hujan turun, Jei dibawa alm. Bapak ke rumah.
Setiap selesai Subuh, saya jarang melihat Jei terparkir di garasi rumah. Ya, hal itu dikarenakan setiap selesai Subuh, almh. Ibu selalu membawanya pergi ke pasar. Kebetulan di dekat rumah (yang berjarak sekitar 1km) ada sebuah pasar yang bukanya pagi-pagi sekali, dan almh. Ibu sering berbelanja di sana.
Saya juga masih ingat, Jei yang dulu dibeli alm. Bapak sewaktu saya masih kelas 1 SD ini sering digunakan oleh almh. Ibu untuk menjemput saya ketika pulang sekolah. Uniknya lagi dan mungkin hampir semua anak kelahiran 90an pernah merasakannya, yaitu sewaktu dibonceng almh. Ibu di waktu kecil, kedua kaki saya selalu diikat di frame Jei. Tepatnya di frame bagian bawah sedel atau frame bagian depan roda belakang. Kata almh. Ibu, itu dilakukannya biar kaki saya nggak "keruji", alias mengenai ruji dari ban sepeda. Sederhananya biar aman ya, hehe...
Jei terakhir kali digunakan oleh almh. Ibu pada akhir tahun 2019, tepatnya sebelum almh. Ibu sakit. Sepeninggal almh. Ibu, perjalanan Jei kemudian diteruskan oleh alm. Bapak. Yang saya ingat, dulu alm. Bapak pernah berkata kalau beliau tak akan menjual Jei. Selain karena masih nyaman digunakan dan juga sudah jarang ada di pasaran, Jei merupakan salah satu kenangan berharganya, terutama kenangannya kepada almh. Ibu. Sampai saat ini, saya masih mengingat kata-kata alm. Bapak tersebut.
Kini seperti halnya Shogi (motor lama alm. Bapak), perjalanan Jei akan saya teruskan. Entah akan sampai kapan, tapi saya berusaha untuk menjaganya dengan sebaik-baiknya. Dan beberapa waktu yang lalu, saya mencoba untuk sekadar membersihkannya. Biar terlihat lebih segar, pikir saya.
Sekitar 1 bulan yang lalu saya juga membawanya ke bengkel sepeda dekat rumah. Rem yang sudah tidak pakem membuat saya memutuskan untuk membawanya kesana. Dan sekarang Jei sudah terlihat cukup baik dan lebih nyaman dari sebelumnya.
Jei saat mendapat perawatan di bengkel sepeda dekat rumah. |
Akhir-akhir inipun saya sering membawa Jei berkeliling kota sewaktu pagi. Entah hanya untuk sekadar menikmati udara kota di waktu pagi atau sekaligus membuang sampah ke kontainer tempat sampah kota dekat rumah. Dan untuk memudahkan saya membawa kantong sampah itu, saya akhirnya memasangi Jei keranjang. Cukup terlihat bagus kan, ya, hehe...
Jei sebelum dan sesudah dipasangi keranjang. |
Dari Jei (dan juga Shogi), saya belajar bahwa meskipun kebersamaan (dengan orang terkasih) sudah tiada, tapi kenangannya akan selalu ada. Dan barangkali bisa jadi Jei nantinya juga akan menjadi kenangan saya untuk generasi selanjutnya. Baik-baik, ya, Jei...
Sorry, tanyanya diluar konteks, ini nama templatenya aba bang? bisa bagi link downloadnya tidak?
BalasHapusnama templatenya "Write", untuk linknya bisa dicoba di https://newbloggerthemes.com/write-blogger-template/ mas
HapusWah agak sedih bacanya,banyak kenangan berharga ,kemarin sepeda motor, yang ini sepeda jengki, mirip kepunyaan almarhum ayah mertua saya ,kalo saya balik kampung sepedanya masih ada di dapur, biasanya buat pergi ke sawah.
BalasHapushehe...iya mbak, sebenarnya masih banyak kenangan berharganya, tapi saya rasa dua benda inilah yang paling berkesan menurut saya dan sehari-hari juga masih sering saya gunakan, wah asyik juga ini mbak kalau jengkinya dibawa sepedaan ke sawah, saya jadi teringat juga waktu ke kampungnya nenek, tiap pakdhe pergi ke sawah selalu ikut dan dibonceng pakai sepeda jengkinya :D
Hapus