NgeShare - Kandang Kambing Bapak


Kemarin sore (27/05/2024), ketika saya sedang asyik scrolling media sosial di HP, saya menjumpai sebuah notifikasi yang tiba-tiba muncul. Notifikasi yang setelah saya cek ternyata berasal dari aplikasi google foto. Jika ada notifikasi dari aplikasi itu, tentunya akan ada sebuah atau beberapa foto yang ditampilkan oleh aplikasi tersebut sebagai pengingat bahwa kita pernah mengabadikannya.

Usai melihat notifikasi itu, saya lantas menekannya. Untuk sekadar melihat foto apa kiranya yang pernah saya abadikan bertepatan dengan tanggal ini, pikir saya. Syahdan, muncullah sebuah foto yang seketika mengingatkan saya kembali pada almarhum bapak. Sebuah foto yang ternyata adalah kandang kambing alm. bapak.

Foto kandang kambing alm. bapak enam tahun lalu.

Saya ingat-ingat lagi, foto itu pernah saya ambil dua minggu setelah alm. bapak memutuskan untuk pensiun dari beternak kambing. Ya, pensiun, setelah dua puluh tahun lamanya alm. bapak beternak kambing. Mulai dari saya masih sekolah di TK hingga saya lulus kuliah.

Momen ketika alm. bapak memantapkan diri untuk menyudahi rutinitas yang pernah ditekuninya ini, saya pun masih mengingatnya sampai saat ini. Momen itu saya dengar saat saya di perantauan sedang mengabari almarhumah ibu melalui sambungan telepon kalau saya baru saja menyelesaikan sidang skripsi. Waktu di sambungan telepon itu, selain mengungkapkan rasa senangnya, almh. ibu juga menyampaikan tentang rencana alm. bapak yang akan menjual semua kambing-kambingnya dan memutuskan untuk tidak lagi beternak.

Kata almh. ibu juga waktu itu, alasan alm. bapak karena ingin lebih santai sembari menunggu waktu pensiunnya tiba. Mendengar rencana itu, sontak saja saya terharu karena selain senang, kelulusan saya ternyata juga bisa meringankan beban kedua orang tua, terutama alm. bapak.

Oiya, sedikit cerita tentang kandang kambing alm. Bapak ini. Dulu berbekal keahlian pertukangan yang dimilikinya, alm. bapak membangunnya sendiri. Tapi beliau membangunnya bukan di tanah miliknya, melainkan di tanah milik seorang tetangga yang baik hati mau meminjamkannya kepada alm. bapak. Namun, alm. bapak tidak serta merta mau menerima kebaikan tetangga saya ini dengan percuma. Meskipun tetangga saya ini sendiri tidak pernah meminta imbalan apapun, termasuk biaya sewa lahan ke alm. bapak, tapi alm. bapak selalu mengirimkannya hasil panen buah-buahan, seperti pisang yang ditanam bapak di lahan tersebut sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada tetangga saya itu.

Sebagai sampingan untuk kebutuhan biaya anak sekolah menjadi alasan utama alm. bapak menekuni dunia ternak kambing. Maklum gaji alm. bapak waktu itu sebagai guru SD belum begitu banyak. Selain itu, di keluarga saya hanya bapaklah yang bekerja. Menyekolahkan tiga orang anak dengan hanya seorang yang bekerja dan berpenghasilan pas-pasan, rasa-rasanya cukup sulit menurut alm. bapak kalau tidak disambi dengan usaha lain. Karena alm. bapak pantang untuk berhutang dan menyenangi dunia peternakan, alhasil beliau pun memulai usaha ternak dan jual beli kambingnya sendiri dengan modal awal, yaitu tiga ekor kambing. Tiga ekor itu terdiri dari satu ekor jantan dan dua ekor betina. Dari tiga ekor kambing itu, lama-kelamaan kian bertambah. Dan yang saya ingat, selama alm. bapak beternak, jumlah kambing yang paling banyak dimilikinya, yaitu 15 ekor.

Setiap pagi sebelum berangkat kerja, alm. bapak selalu membawa kambing-kambing ternakannya ke tanah lapang dekat rumah yang banyak ditumbuhi rumput liar. Hal itu dilakukan oleh alm. bapak tentunya agar kambing-kambingnya bisa mencari makan sendiri ketika ditinggal beliau bekerja. Dan agar kambing-kambingnya itu tidak pergi ketika ditinggal, alm. bapak tak lupa untuk mencencangnya atau mengaitkan sisa tali yang sudah dikaitkan di leher kambing ke patok kayu dengan kuat. Baru pada waktu siangnya ketika alm. bapak sudah pulang dari bekerja, beliau akan kembali ke tanah lapang itu untuk mengecek dan menggembalakan kambingnya hingga sore tiba.

Waktu mengikuti alm. bapak yang akan menggembalakan kambing-kambingnya.

Foto di atas merupakan momen terakhir saya ketika mengikuti alm. bapak yang akan menggembalakan kambing-kambingnya di pagi hari. Dulu alm. bapak bisa dengan leluasa menggembalakan kambingnya karena waktu itu di kampung saya bisa dengan mudah menjumpai banyak tanah lapang. Tapi kalau sekarang tanah lapangnya sudah banyak yang beralih jadi perumahan. Barangkali ini juga yang jadi pertimbangan alm. bapak untuk tidak lagi beternak.

Dua minggu setelah saya selesai sidang skripsi dan kembali ke rumah, ternyata niat alm. bapak untuk pensiun beternak sudah benar-benar mantap. Hal itu terbukti dengan telah dijualnya semua kambing ternak miliknya. Saya sendiri ketika pergi ke kandang kambing alm. bapak waktu itu sudah tidak lagi menjumpai adanya ternak di sana. Di sana hanya tersisa kandang kosong yang kemudian alm. bapak berikan ke tetangga pemilik lahan tersebut.

Lahan bekas kandang kambing alm. bapak yang kini telah dipenuhi tanaman liar.

Kini, kandang kambing itu tak lagi dapat saya temui sisa-sisanya. Sekitar 5 tahun lalu, kandang itu telah roboh dan rata dengan tanah. Bekasnya pun sudah tak lagi terlihat, karena lahan bekas berdirinya kandang sudah penuh ditumbuhi rerimbunan tanaman liar. Meskipun begitu, saya bersyukur karena masih bisa menemuinya pada potret gambar yang pernah saya abadikan. Dan darinya, saya pun bisa mengabadikannya ke dalam tulisan ini yang barangkali nantinya selain bisa jadi pengingat, juga bisa jadi renungan untuk diri saya sewaktu-waktu.

Kiranya, itulah sedikit cerita saya tentang kandang kambing milik alm. bapak. Terima kasih sudah berkenan hadir di sini untuk membacanya. Semoga keberkahan selalu menyertaimu dan sehat selalu. 😃
_____

"Salah satu cara menghentikan waktu selain mencium orang yang kau sayangi adalah dengan memotretnya. Satu detik untuk selamanya."
~ Fajar Sulaiman dalam buku "Sunyi Paling Riuh".

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

5 Komentar

  1. Wah, kagum sama almarhum bapak masnya. Tekun, ulet, dan pantang berhutang. Terbukti dari modal 3 kambing bisa sampe jadi 15, ya Allah.
    Ga kayak anak-anak zaman sekarang, baru kena tekanan dikit aja mencla-mencle. Terus dikit-dikit pinjol, dikit-dikit judi online.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, terima kasih mas, ini juga suatu hal yang ingin saya contoh dari alm. bapak, terutama tentang ketekunannya, semoga bisa selalu istiqomah ya mas, aamin

      Hapus
  2. Jadi agak gimana gitu ya , terharu kalau ada foto atau momen yg mengingatkan kita pada sesuatu hal...dari beternak kambing lumayan membantu ya mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak, apalagi kalau objek atau seseorang pada foto tersebut sudah tak dapat dijumpai lagi, kenangannya terasa sangat berharga :')
      iya alhamdulillah mbak :)

      Hapus
  3. Mas, terkirim doa untuk Almarhum Bapak mas. Sungguh sebuah cerita yang mengharukan. Terbukti mas Suryadhi bisa sarjana dengan usaha keras Bapak dan dukungan Ibu. Blogwalking pertama ke blog mas Suryadhi saya beroleh cerita yang menghangatkan hati. Izin saya masukkan ke blogroll saya mas.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama