Lima hari yang lalu tepatnya di hari Sabtu, Caca baru saja dibelikan sepatu oleh ibunya (kakak perempuan saya). "Biar nanti kalau mau ikut om jogging lagi nggak pakai sandal," ujar ibunya saat memberikan sepatu itu kepada Caca. Tentunya seperti anak kecil pada umumnya, Caca terlihat antusias sekali saat menerima sepatu dari ibunya itu. Ya, setelah di pagi harinya Caca dan juga ibunya ikut menemani saya jogging, ibunya jadi kepikiran untuk membelikan Caca sepasang sepatu.

Ketika melihat momen Caca yang diberi sepatu oleh ibunya, saya jadi teringat pada kenangan yang sangat lama di waktu saya masih kecil. Kira-kira waktu itu saya berusia 3 atau 4 tahun. Pada kenangan itu, saya sedang merengek pada almarhumah ibu agar dibelikan sepatu. Padahal waktu itu saya belum sekolah. Tapi karena selalu melihat kakak pertama dan kakak kedua saya memakai sepatu ketika akan berangkat ke sekolah, saya jadi ingin menggunakannya juga.

Yang saya ingat, hampir tiap hari dan tiap pagi saya merengekan hal itu pada almh. ibu. “Bu, minta sepatu,” rengek saya waktu itu. Tapi yang saya masih ingat juga, almh. ibu akan selalu menjawab  dengan jawaban "nanti ya kalau kamu sudah sekolah" atau "iya, nanti kalau ibu sudah punya uang". Dua jawaban yang pada awalnya bisa meredakan rengekan saya kala itu.

Namun, suatu ketika saya menangis hebat saat almh. ibu akan mengajak saya untuk mengantar kakak kedua saya, yaitu ibunya Caca berangkat ke sekolah. Untungnya waktu itu, almh. Ibu punya ide cemerlang yang mampu meredakan tangisan saya. Berbekal sepasang kaos kaki dan sepatu sandal lungsuran (bekas) milik kakak saya yang pertama, almh. Ibu memakaikannya ke kedua kaki saya.

“Nah, ini sekarang adik sudah pakai sepatu, kan,” ujar almh. Ibu selesai memakaikan kaos kaki dan sepatu sandal itu di kaki saya. Entah mengapa, waktu itu saya merasa senang dan tak menangis lagi. Di sepanjang jalan ketika mengantar kakak saya yang kedua pergi ke sekolah bersama almh. Ibu, saya berjalan dengan rasa bangga.

Meskipun sesampainya di sekolah kakak banyak teman-temannya yang menertawakan saya, tapi selayaknya bocil yang sedang asyik dengan mainan barunya, saya tak memperdulikannya. Saya tetap asyik mencoba berjalan ke sana kemari dengan sepatu sandal yang saya kenakan waktu itu. Saking asyiknya, sampai-sampai saat tiba di rumah saya tak mau melepaskannya. Almh. ibu baru bisa melepaskan sepatu sandal dan kaos kaki itu dari kaki saya ketika saya tertidur.

Kalau diingat-ingat lagi kenangan itu, ada perasaan bahagia dan juga sedih. Bahagia karena mengingat dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya kala itu, almh. ibu selalu berusaha dan bisa menyenangkan saya. Sedihnya karena mengingat dulu sebagai seorang anak, saya mungkin terlalu banyak meminta/ menuntut.

_____

Bu, maaf ya kalau dulu banyak hal yang saya minta. Maaf bila dulu dan juga (mungkin) sekarang saya belum bisa membuat ibu bahagia. Maaf juga kalau dulu saya belum bisa merawat ibu dan juga bapak sebaik kalian merawat saya. Maaf untuk segala-galanya, ya, Bu. :’)