Hampir dua mingguan ini ketika sedang bersantai atau sekadar berkontemplasi di teras rumah mbak pada malam hari, selalu ada seekor kucing yang menemani saya. Seekor kucing gemoy warna abu-abu dengan corak garis hitam. Saya tak pernah tahu siapa namanya, apalagi pemiliknya. Satu hal yang saya tahu kalau akhir-akhir ini si Gembul, panggilan saya untuk kucing itu rajin sekali mengunjungi rumah mbak.
Sekadar untuk minum air pada ember kecil yang saya letakkan di dekat kran air pada halaman rumah, celingak celinguk keadaan, atau rebahan hingga ketiduran. Itu beberapa hal yang sering saya lihat setiap kali Gembul datang.
Pada awal kedatangannya dulu, saya ingat ia yang tiba-tiba saja masuk ke pekarangan rumah melalui sela-sela pagar. Kemudian merebahkan diri di bawah naungan pohon mangga di depan rumah. Saat pertama kali melihatnya, saya kira ia akan segera kabur ketika mengetahui kehadiran saya, seperti kucing-kucing lain yang baru pertama kali mampir ke rumah mbak. Tapi ternyata tidak. Si Gembul tetap terlihat tenang dan hanya melihat saya dengan santainya.
Karena sering melihatnya, saya jadi kepikiran untuk memberinya makan. Dan entah kebetulan, setiap kali Gembul muncul di rumah mbak, selalu saja ada sedikit makanan yang bisa saya berikan. Nah, sejak saat itu saya jadi akrab dengannya.
Kalau dulu waktu awal-awal pertemuan kami, Gembul akan terlihat cuek ketika melihat saya. Lain halnya dengan sekarang. Saat saya ada di teras rumah atau baru saja membuka pintu rumah, Gembul akan berjalan menghampiri saya.
Entah itu hanya untuk sekadar minta dielus, menempel-nempelkan bulu badannya di kaki saya sambil mengendus, atau mengeong seperti ingin mengajak saya bermain.
Kehadirannya tentu membuat saya senang. Apalagi melihat tingkahnya yang sesekali membuat saya gemas padanya. “Mbul, apa kira-kira Tuhan mengirimu ke sini untuk menemaniku malam ini?” batin saya dalam hati pada suatu malam saat menjumpai si gembul di teras rumah mbak. Bila dimaknai secara positif, mungkin saya akan memaknai kehadiran si Gembul seperti itu. Tidak apa-apa, kan ya? Hehe...
Kehadiran Gembul bukan hanya membuat saya sendiri yang merasa senang. Tentunya penghuni lain di rumah mbak juga turut merasa senang, terutama Caca. Begitu melihat Gembul, Caca akan terlihat senang kegirangan dan berteriak, "Om, itu kucing!"
Caca akan dengan antusias mengelus-elus si Gembul hingga mengajaknya berbicara. Saking senangnya pula dengan kehadiran Gembul, beberapa kali Caca tak rela bila Gembul akan pergi meninggalkan rumah. Beberapa kali Caca akan mencoba untuk menghalaunya agar tidak pergi. Beberapa kali juga saya harus memberi Caca pengertian. “Si Gembul mau pulang, dek. Biarin dia pulang dulu, ya. Besok gembul ke sini lagi kok. Main lagi sama Adek”, ujar saya pada Caca mencoba memberinya pengertian.
Hal ini juga yang menjadi pertimbangan saya untuk tidak mengadopsi Gembul. Selain karena saya menyadari bahwa saya kurang telaten dalam hal merawat hewan, saya juga menyadari kalau Gembul merupakan kucing peliharaan orang lain. Hal itu saya sadari dari arah kedatangannya yang selalu saja muncul dari sebelah utara rumah mbak.
Entah dari rumah siapa atau pemiliknya siapa, saya tak ingin mencari tahu. Yang pasti saya tahu kalau pemiliknya merawat Gembul dengan baik. Itu terlihat dari bulunya yang terawat seperti rajin dibersihkan dan juga berat badannya yang sungguh gemoy sekali, hehe...
Setiap kali melihat si Gembul, saya jadi teringat dengan Cio. Ya, Cio, seekor kucing yang selalu berkunjung ke rumah alm. Bapak. Sudah cukup lama saya tidak bertemu dengannya. Kira-kira bagaimana kabarnya sekarang, ya? Semoga baik-baik saja, aamin...
1 Comments
Saya suka lihat kucing, tapi kalau masalah berurusan dengan kebersihannya, langsung angkat tangan.. Hehe...
BalasHapusPosting Komentar