Satu minggu yang lalu, usai membersihkan makam Ibu dan juga Bapak, saya mendo’akan kebaikan untuk keduanya. Setelahnya tak lupa juga saya meletakkan beberapa kuntum bunga di atas makam mereka berdua seperti halnya orang yang sedang berziarah pada umumnya. Beberapa kuntum bunga mawar yang jumlahnya sendiri memang tak begitu banyak. Meskipun begitu, saya yakin Ibu dan Bapak akan merasa senang menerimanya. Apalagi jika keduanya mengetahui kalau kuntum bunga yang saya bawa itu merupakan bunga yang saya tanam sendiri.
Ya, bunga yang saya tanam sendiri. Sebenarnya saya sendiri tak menyangka kalau pada akhirnya saya menanam bunga, terlebih lagi bunga mawar. Tapi semenjak mengetahui harga bunga mawar yang digunakan untuk berziarah itu lumayan mahal ketika mendekati hari raya, saya jadi punya niatan untuk mencoba menanamnya sendiri. Keputusan itu mulai telaksana di awal bulan Maret kemarin. Berbekal sinau dari Youtube, saya meyakinkan diri untuk membeli bibitnya secara online. Waktu itu, saya beli 10 bibit bunga mawar, tapi sayangnya yang berhasil hidup sampai sekarang hanya 5 saja.
“Nggak apa-apa, namanya juga berusaha, pasti ada gagalnya, kan?” batin saya dalam hati ketika menjumpai 5 bibit bunga mawar yang telah mati. Dari kegagalan itu, saya jadi bisa belajar perihal apa saja yang mesti dilakukan agar tanaman bunga mawar saya bisa tetap sehat.
Oiya, sebenarnya di bulan kedua tanam, tanaman bunga mawar saya itu sudah ada yang berbunga. Tapi yang berbunga baru dua. Mau dipetik, sasanya sangat eman. “Dipetiknya nanti ajalah, kalau bunganya udah lumayan banyak,” ujar saya dalam hati waktu itu. Bersabar sedikit lebih lama akhirnya di bulan ketiga tanam, saya bisa melihat tanaman bunga mawar itu berbunga lebih banyak dari bulan sebelumnya.
Kalau dihitung-hitung ada 10 bunga yang mekar waktu itu. Sembilan bunga berwarna merah dan 1 berwarna putih. Sayangnya, dari 10 bunga itu, hanya 7 yang bisa saya petik karena yang 3 mekarnya masih belum begitu maksimal. Alhasil 7 bunga yang minggu lalu saya bawa ke makam Ibu dan juga Bapak.
Ah, kalau diingat-ingat lagi terkait bunga mawar ini, saya jadi teringat Ibu semasa hidup yang sangat senang sekali dengan bunga. Setiap kali ada bazar tanaman di alun-alun, Ibu pasti tak akan pernah melewatkannya. Ibu akan mengunjungi bazar itu. Ya, walaupun lebih seringnya hanya untuk melihat-lihat saja. “Mau cuci mata dulu,” kata Ibu setiap kali akan pergi ke bazar tanaman.
Kalau Bapak sendiri, beliau tak begitu menyenangi bunga seperti Ibu. Bapak lebih tertarik dengan tanaman buah-buahan dan juga sayuran. “Nah, kalau nanam ini kan enak, pas udah berbuah bisa dimakan buahnya,” ujar Bapak ketika membandingkan tanaman buahnya dengan tanaman bunga milik Ibu.
Kalau diingat-ingat lagi, semasa keduanya hidup, saya belum pernah sekalipun memberikan bunga untuk Ibu maupun Bapak. Bahkan di hari Ibu atau hari Ayah yang identik dengan memberi bunga kepada orang tua. Justru setelah kepergian keduanya, saya baru bisa memberikan mereka bunga. Rasanya ironis sekali. Tapi saya rasa, Ibu dan juga Bapak tak akan pernah mempermasalahkannya.
Saya sadar bahwa meletakkan bunga di makam hanya sekadar tradisi dan simbol cinta yang abadi, dan do’a yang baik ialah hal yang selalu dinanti-nanti oleh mereka yang telah lebih dulu pergi. Oleh karena itu, selama saya masih hidup di dunia, saya akan selalu berusaha untuk mendo'akan kebaikan Ibu dan juga Bapak di sana.
_____
“Bu, Pak, maaf ya kalau bunganya sedikit. Meskipun bunganya sedikit, tapi do’aku untuk kebaikan kalian berdua di sana tak akan pernah sedikit kok. Tenang-tenang di sana, ya, Ibu, Bapak.”
_____
“Bu, Pak, maaf ya kalau bunganya sedikit. Meskipun bunganya sedikit, tapi do’aku untuk kebaikan kalian berdua di sana tak akan pernah sedikit kok. Tenang-tenang di sana, ya, Ibu, Bapak.”
0 Comments
Posting Komentar