Ia mudah datang, ia juga mudah pergi. Ia tak pernah permisi untuk kembali, tetapi aku sangat gembira ketika ia datang lagi. Ia kadang sesekali bertengger dalam pikiranku, berusaha meresahkan diriku, berupaya menggetarkan jiwaku, seakan-akan ingin sekali ia mengajakku untuk lekas menuliskannya pada sebuah buku, tepatnya pada kertas putih yang ada di dalamnya itu. Ingin, ingin sekali sebenarnya kutulis dia, dengan menggunakan sebuah pena sederhana, tetapi kadang ada yang membuatku ragu juga. Ragu, mungkin yang membuatku mudah seperti itu karena ada lupa yang kadang menghampiriku, lupa yang juga orang lain pasti rasa. Lalu, apa yang harus kulakukan agar tak begitu lagi di kemudian hari? Maka kuputuskan untuk mulai menyimpannya ke dalam catatan-catatan kecil seperti sedianya seorang penyair, meski kini aku masihlah seorang amatir, tapi aku selalu berusaha berpikir untuk tak menyerah pada takdir. Ku mulai simpan ia ketika ia datang, agar ia tak pergi tinggalkan aku dalam kesendirian. Ku tak ingin ia pergi, sungguh ku tak ingin, karena mengapa? Karena ia adalah "ide", yang kuperoleh berkat adanya inspirasi, yang kurealisasi dengan semangat beserta niatku sendiri. Kuhantarkannya ke dalam sebuah karya yang ku tulis dan dapat kubagi walau itu hanya sedikit sekali.

Aku selalu berharap agar kelak dapat menjadi penulis seperti penulis-penulis lainnya. Yang dengan hasil karyanya (tulisan/ buku), mereka mampu untuk membuka mata, telinga hingga mampu mengajak pembacanya untuk bersama-sama saling merasa kepada yang ada atau kepada yang sedang terjadi di sekitarnya. Bukan hanya sekadar menghubung-hubungkan­ huruf dan angka, lebih dari kedua hal itu, yaitu ingin membuka jendela kita. Mengajak kita untuk melihat luasnya dunia bersama, yang dengan segala macam peristiwa di dalamnya, peristiwa masa lalu hingga peristiwa yang akan hadir di masa depan yang menunggu.

"Menulislah sebelum lupa, karena lupa bisa menyerangmu kapan saja."