“Pak, jadi gini ya rasanya?”, ujar saya dalam hati ketika pertama kalinya menghadiri undangan kenduri (hajat) dari salah seorang tetangga. Sebuah pengalaman baru bagi saya. Maklum karena dulu waktu almarhum bapak masih ada, setiap kali ada tetangga yang akan punya hajat dan berniat mengundang, pastinya undangan yang dikirim ke rumah bapak ditujukan untuknya atau atas nama bapak. Tapi setelah kepergian alm. bapak dan karena tinggal saya seorang yang masih menetap di rumahnya, undangan-undangan yang datang dari tetangga beralih ditujukan atas nama saya.

Sebagai seorang yang bisa dibilang jarang srawung (bergaul) di kampung, hal baru semacam ini awalnya membuat saya bingung. Bingung nanti di sana acaranya seperti apa, bingung apa yang harus dilakukan di sana, sampai-sampai bingung kalau nanti diajak ngobrol dengan tetangga yang sudah sepuh jawabnya harus gimana. Ya, soalnya selain karena ndak begitu mahir basa-basi, saya juga ndak terlalu mahir bahasa Jawa krama inggil yang masih sering digunakan di daerah saya tinggal.

Tapi itu semua saya coba siasati dengan mengikuti alurnya saja. Mencoba untuk tetap tenang dan juga memperhatikan. Dan syukurlah semuanya berjalan dengan baik. Kebingungan atau kekhawatiran sirna dengan berjalannya waktu. Pun dengan berjalannya waktu, kebiasaan menghadiri undangan dan berkumpul dengan orang-orang yang lebih tua menjadikan saya terbiasa.

Namun, beberapa kali mendapat dan juga menghadiri undangan dari tetangga, saya jadi teringat momen-momen sewaktu alm. bapak masih ada. Terlebih lagi saat beliau pulang dari acara kenduri. Sedari saya kecil sampai saya dewasa, nasi kotak dan jajanan dari acara kenduri yang istilahnya di daerah saya namanya “berkat”, tak pernah sekalipun berkurang. Alm. bapak selalu membawanya pulang dalam keadaan utuh.

Entah kenapa, alm. bapak seperti tak pernah mau mengambil lebih dulu isi dalam berkat itu. Baik alm. bapak maupun almh. Ibu baru akan mengambilnya ketika masih ada sisa yang saya dan juga kakak-kakak saya tidak makan. Tapi dulu lebih seringnya mereka tidak ikut makan, karena lebih memilih mengalah agar saya dan kakak-kakak saya saja yang makan berkatnya.

Dulu pernah suatu ketika saya bertanya kepada alm. bapak, “Pak, ini jajannya mau bapak makan atau nggak?”

Seperti biasa, alm. bapak selalu menjawabnya dengan jawaban, “Nggak, kamu makan saja. Dulu, bapak sudah sering makan itu.”

Atau kalau jawabannya bukan itu, alm. bapak akan menjawabnya dengan berkata, “Kamu makan saja. Bapak udah kenyang, tadi pas di sana (lokasi acara kenduri) bapak udah makan.”

Sebenarnya alm. Bapak tak hanya seperti itu ketika pulang dari acara kenduri saja, sewaktu ada acara rapat di tempat kerjanya yang tentu akan ada nasi kotak setelahnya, alm. bapak juga selalu membawanya pulang. Bukan malah beliau makan, justru beliau berikan kepada saya dan juga kakak-kakak saya. Barangkali setiap dapat nasi kotak atau jajan, alm. bapak selalu teringat kalau makanan ini kesukaan anak-anaknya.

Saya rasa hal ini tidak hanya dilakukan oleh alm. bapak. Saya yakin bahwa bapak-bapak lain, yang juga begitu sayang dengan anak dan istrinya pasti melakukan hal yang sama. Kalau tidak, tentunya tak akan pernah ada kata-kata fenomenal yang dulu pernah saya temui di media sosial seperti di bawah ini,


Dari kata-kata itu, kalau saya boleh menambahi, mungkin saya hanya akan menambahinya seperti ini,
“Meskipun dia yang tidak makan, tapi dia yang paling senang melihat keluarga kecilnya makan dengan riang.”
_____

Terima kasih, bapak.