NgeShare - Bertemu dan Mengutip: Buku Filosofi Teras

Filosofi Teras karya Henry Manampiring, sebuah buku yang saya beli dua tahun lalu. Buku yang sayangnya saya lupa awal mula bisa bertemu dengannya. Seingat saya waktu membeli buku ini, saya sedang senang-senangnya menonton dan membaca perihal gaya hidup minimalis maupun slow living. Ya, meskipun sampai sekarang saya belum bisa menerapkan dua gaya hidup itu dengan baik, hehe…

Dua tahun lalu saya membaca buku yang tentunya dengan harapan untuk bisa menjadi lebih baik. Mengingat dulunya saya sering galau, sampai sekarang sesekali masih sih (hehe…), melalui buku ini saya ingin mengatasi hal tersebut. Yang saya ketahui bahwa buku ini membawa dasar filsafat Stoa. yaps, filsafat Stoa yang membantu seseorang dalam mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik-turunnya kehidupan.

Buku ini membawa pemahaman baru bagi saya. Selain perihal filsafat Stoa atau Stoisisme, juga tentang hal-hal di luar kendali maupun di bawah kendali kita. Buku ini juga mengajak saya untuk bisa lebih menerima hal-hal yang tidak di bawah kendali saya.

Sayangnya, kegiatan saya membaca buku ini sempat terhenti dua tahun lalu. Terakhir kali saya membacanya sampai di halaman 69. Kalau ada yang bertanya perihal penyebabnya apakah karena isinya yang membosankan? Saya jawab, tidak. Justru isinya sangat menarik.

Seingat saya, dulu ketika mulai membaca buku ini, saya masih bekerja dengan sistem WFH dan WFO. Satu bulan WFH, lalu ganti satu bulan WFO. Ketika WFH, saya memanfaatkannya untuk sekalian pulang ke Ngawi, sebelum nantinya harus kembali lagi WFO di kantor yan ada di Semarang. Sayangnya, waktu harus kembali kerja secara WFO, saya lupa tidak membawa buku ini ke kost.

Pada akhirnya buku ini hanya tersimpan di rak buku yang ada di rumah alm. Bapak. Dan semakin lama tersimpannya hingga membuat saya lupa kalau belum selesai membacanya ketika saya mendapat berita yang kurang mengenakkan dari kantor, yaitu kabar mengenai kontrak kerja yang tidak diperpanjang. Mendapati kabar itu, saya sampai lupa pada beberapa hal, termasuk buku ini dan janji untuk meminjamkannya ke seorang teman kantor. Teruntuk teman kantorku dulu yang mau meminjam buku ini, maaf ya belum sempat meminjamkannya. :’)

Saya baru menjumpai buku ini lagi sekitar satu bulan yang lalu sewaktu sedang bersih-bersih rumah alm. Bapak. Menjumpainya masih tersimpan rapi di rak buku, tapi dengan kondisi yang tak lagi sama seperti dulu lagi. Di beberapa halamannya sudah dihiasi bercak kuning, sedangkan di ujung-ujung sampulnya sudah nampak lipatan kecil. Ah, barangkali ini karena saking lamanya tidak saya rawat.
Tak ingin penyesalan lama terulang kembali, saya memutuskan untuk membacanya lagi. Dan sore kemarin, akhirnya saya selesai membacanya, alhamdulillah…

“Harusnya dari dulu saya selesaikan membaca buku ini,” batin saya dalam hati setelah selesai membacanya kemarin. Jika saya membaca buku ini dari dulu, mungkin saya tidak akan merasa khawatir berlebihan, mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi, dan menjalani hidup dengan lebih percaya diri.

Dari buku ini juga, saya bisa menjumpai beberapa kutipan menarik yang telah saya catat pada buku kecil saya. Kalau penasaran apa saja kutipannya, sudah saya tulis di bawah ini, ya.
  • “Bukan stres yang membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadapnya.” - hlm. 7.
  • “Dengan malas bekerja, kita sudah mengingkari Alam dan nature kita sebagai manusia.” - hlm. 71.
  • “Kekayaan, keahlian, kecantikan, kekuatan (fisik) tidak serta merta membuat seseorang ‘lebih baik dari kita’.” - hlm. 73.
  • “Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan/pikiran/persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut.” - hlm. 79.
  • “Memberikan diri kita kesempatan untuk berpikir rasional hampir selalu lebih baik dibandingkan dengan terus-menerus membiarkannya ditarik ke sana kemari oleh emosi.” - hlm. 90.
  • “Jagalah senantiasa persepsimu, karena ia bukan hal yang sepele, tetapi merupakan kehormatan, kepercayaan, ketekunan, kedamaian, kebebasan dari kesakitan dan ketakutan—dengan kata lain, [persepsimu adalah] kemerdekaanmu.” - hlm. 91.
  • “Pada saatnya, kamu akan melupakan segalanya. Dan akan ada saatnya semua orang melupakanmu. Selalu renungkan bahwa akhirnya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari bumi.” - hlm. 95.
  • “Sering kali, realitas yang terjadi jauh sekali dari yang kita khawatirkan, dan kita sudah menghabiskan begitu banyak energi untuk menyiksa diri.” - hlm. 110.
  • “Sesungguhnya, yang miskin bukanlah dia yang memiliki harta terlalu sedikit, tetapi dia yang masih menginginkan lebih.” - hlm. 120.
  • “Kamu tidak bisa dihina orang lain, kecuali kamu sendiri yang pertama-tama menghina dirimu sendiri.” - hlm. 139.
  • “Seberapa pun menyebalkannya perilaku atau perkataan orang lain, belajar memahami intent (niat) dan perspektif mereka bisa membantu kita memberi respons yang lebih baik.” - hlm. 144.
  • “Sebelum kita emosi merasa ‘kebenaran’ kita dilanggar, cek terlebih dahulu apakah mungkin kita yang salah.” - hlm. 150.
  • “(Kejujuran) harus terdengar di suaramu, tampak di matamu, bagaikan kekasih yang menatap wajahmu dan percaya seluruh kisahmu dengan sekilas pandang.” - hlm. 158.
  • “Uang dan harta benda selalu bisa dicari, tetapi waktu adalah harta yang tanpa ampun terus menghilang dari kehidupan kita, terus mendekatkan diri kita kepada kematian.” - hlm. 167.
  • “Justru ketika keadaan kita sedang baik, maka jiwa kita harus diperkuat untuk menghadapi kesulitan yang lebih besar.” - hlm. 185.
  • “Kegagalan tidak dilihat sebagai indikator seseorang terlahir ‘bodoh’, tetapi sebagai hambatan sementara yang bisa dilampaui dengan usaha.” - hlm. 198.
  • “Dukacita yang dicoba ditutup-tutupi atau dialihkan perhatiannya akan terus kembali, dengan kekuatan yang lebih besar. Namun, dukacita yang telah ditaklukkan nalar akan tenang selamanya.” - hlm. 207.
  • “Yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” - hlm. 222.
  • “Kematian bukan sesuatu yang menakutkan kita, tetapi justru memotivasi kita untuk memanfaatkan hidup sepenuh-penuhnya.” - hlm. 245.

Kira-kira begitulah cerita singkat perihal pertemuan saya dengan buku ini. Kalau kamu penasaran dengan isi bukunya atau ingin mengembangkan diri melalui buku ini, kamu bisa membacanya melalui aplikasi iPusnas. Tapi kalau di iPusnas, kamu harus siap-siap buat nunggu antriannya dulu.

NgeShare - Bertemu dan Mengutip: Buku Filosofi Teras

Kalau nggak mau antri dan ingin segera membaca bukunya dengan bebas, barangkali kamu bisa meminangnya lebih dulu. Bisa meminangnya di toko buku terdekat atau melalui toko online yang salah satu tautannya ada di sini. Semoga buku ini bisa bermanfaat juga buat kamu, ya! Selamat membaca! 😁