Ketika pertama kali membaca judul dari novel karya Brian Khrisna ini, membuat saya teringat pada sebuah warung mie ayam yang dulunya sering saya kunjungi dengan almarhumah ibu. Warung mie ayam yang saking seringnya kami kunjungi sampai-sampai penjualnya hafal sekali dengan kami. Kalau lagi mampir beli mie ayam di situ, pasti penjualnya yang bernama pak Ali akan lebih dulu berkata pada saya dan juga almh. Ibu, “Mie ayam lima? Saus dan sambelnya dipisah, kan?”
Barangkali karena seringnya saya dan juga almh. Ibu beli mie ayam di warung yang punya nama sesuai pemiliknya itu, yaitu warung mie ayam bang ali, membuat pak Ali hafal dengan pesanan kami. Ah, kalau diingat-ingat lagi momen pertama kali kenal warung mie ayam itu rasanya jadi rindu.
Seingat saya, dulu waktu saya masih sekolah, saya meminta kepada almh. Ibu untuk dibelikan mie ayam. Entah kenapa rasanya waktu itu saya kepengen banget makan mie ayam. Mungkin juga karena sudah lama tak memakan makanan itu.
Waktu itu almh. Ibu mengajak saya mencari warung mie ayam dengan membonceng saya menggunakan sepedanya. Dikarenakan warung mie ayam yang biasanya kami beli ternyata sudah tutup permanen, alhasil almh. Ibu mengajak saya untuk kembali menelusuri jalanan dekat rumah agar dapat menjumpai warung mie ayam lain.
Pencarian itu akhirnya terhenti ketika saya dan almh. Ibu menjumpai sebuah warung kecil mie ayam yang jarak tak terlalu jauh dari rumah. Warung kecil mie ayam yang terlihat juga belum terlalu ramai. Warung itulah yang kemudian kami kenal miliknya pak Ali. Pertama kali nyoba mie ayam di sana ternyata rasanya cocok di lidah saya dan juga almh. ibu, bahkan juga di lidah anggota keluarga saya yang lain, seperti almarhum bapak, mas, dan mbak.
Dari situlah awal mula yang membuat saya langganan mie ayam di warungnya pak Ali. Semakin lama warung mie ayam yang dulunya sepi malah semakin ramai. Hal itu yang kemudian bisa membuat pak Ali memindahkan warungnya ke tempat yang lebih besar. Melihat perubahan itu, rasanya saya jadi ikut senang. Apalagi ketika mengingat waktu warungnya masih kecil dan sepi alias jaman-jaman pak Ali masih merintis.
Sayangnya semenjak saya kuliah dan harus merantau, saya jadi jarang beli mie ayam di warungnya pak Ali. Seingat saya, terakhir beli mie ayam di sana sekitar 6 tahun yang lalu ketika almh. Ibu masih ada. Entah kenapa sejak kepergian almh. Ibu, saya jadi jarang bahkan sampai lupa perihal beberapa tempat makan yang dulu sering kami kunjungi bersama.
Baru setelah kepergian alm. Bapak, saya mulai mengingat-ingat dan mengunjungi beberapa tempat itu. Beberapa tempat penuh kenangan dengan almh. Ibu sudah selesai saya kunjungi. Tapi masih ada beberapa tempat yang juga belum saya datangi. Dan salah satunya warung mie ayamnya pak Ali ini. Mungkin esok hari saya akan mengunjunginya. Selain karena ingin bernostalgia di sana, tentunya karena saya rindu dengan rasa mie ayamnya juga.
Ah, iya, saya sampai lupa dengan inti dari postingan kali ini, yaitu pertemuan saya dengan novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati ini. Novel yang berkisah tentang perjalanan Ale yang sedang berjuang mengobati traumanya di masa lalu. Saya senang dengan alur ceritanya yang seru. Tapi jika boleh mengkritik atau memberi saran kepada Ale, mungkin saya akan berkata, “Le, syukuri apa yang sudah kamu capai dan miliki saat ini. Kalaupun ada yang tak menyukaimu, sudah, jangan dihiraukan. Hidup ini hanya sementara. Jangan dihabiskan untuk memikirkan hal-hal yang membuat hidup kita merasa tidak bahagia.”
Eh, tapi kan Ale hanyalah tokoh fiksi. Tapi nggak apa-apa juga kan kalau sebagai pembaca kisahnya, saya memberi opini. Maaf juga ya, bukan bermaksud menggurui. Hidup saya saja juga belum terasa baik sampai saat ini. Namun, kalau menjumpai seseorang seperti Ale di dunia nyata, saya rasa tak ada salahnya bercerita atau mendengarkan ceritanya. Ah, apaan sih saya ini, malah bicara ngalor ngidul, hehe…
Btw seperti biasanya, ketertarikan saya pada novel ini bermula ketika sedang scrolling sosial media, yaitu Instagram. Dari sana, saya menjumpai sebuah video rells yang di dalamnya terdapat sebait kalimat. Sebait kalimat yang rasa-rasanya menggetarkan diri saya waktu itu. Video rellsnya ada di bawah ini, ya. Setelahnya, saya baru mengetahui kalau kalimat itu dikutip dari novel ini.
Merasa kalau buku ini menarik untuk dibaca, beberapa bulan setelah menonton video rells itu, saya memutuskan untuk check out bukunya pada salah satu akun toko buku Gramedia yang ada di aplikasi orange. Waktu itu, tentunya saya nyari yang harganya paling murah, tapi tetap ori. Kalau misal kamu tertarik buat beli novelnya juga, tautannya saya taruh di sini, ya, hehe…
Tiga hari, paket novelnya akhirnya sampai di rumah. Dan tiga hari juga saya selesai membacanya. Ah, tumben sekali bisa selesai cepat baca bukunya. Biasanya kan perlu waktu berminggu-minggu buat nyelesaiin baca satu buku, hahaha…
Yah, mungkin selain karena saya kebanyakan waktu luang, juga karena jumlah halamannya yang nggak begitu banyak, sih (hehe…). Eh, tapi saya rasa hal utama yang membuat saya bisa selesai membaca novel ini dengan cepat, yaitu karena jalan ceritanya yang membuat saya penasaran. Yaps, penasaran bagaimana kelanjutannya. Rasa-rasanya pengen segera tahu akhir ceritanya.
Bukan hanya isi ceritanya yang menarik dan bisa membuat saya penasaran, ada beberapa kutipan yang juga menarik di dalamnya. Penasaran apa saja kutipan-kutipan yang berhasil saya jumpai di novel ini? Seperti biasa, kutipan-kutipannya saya catat di bawah ini kok, hehe…
- “Terkadang, tak percaya lagi pada kekuatan doa menjadi hal yang rasanya wajar sekali.” - hlm. 2.
- “Jika besok aku mati, butuh waktu berapa lama bagi mereka untuk merindukanku sebelum kemudian benar-benar melupakanku?” - hlm. 9.
- “Orang-orang bilang, bagian terberat menjadi dewasa adalah kamu akan dipaksa untuk selalu berjalan, tidak peduli sedang sesulit apa keadaanmu saat itu, kamu harus tetap berjalan. Sebab, hidup memang seperti itu.” - hlm. 28.
- “Terkadang kamu justru bisa menemukan harta karun di tempat yang tidak pernah kamu sangka-sangka sebelumnya.” - hlm. 66.
- “Di hadapan orang yang tepat, lo gak perlu memohon apa-apa.” - hlm. 102.
- “Kalau lo belum bisa bahagia saat sendiri, jangan limpahkan tugas itu ke orang lain, apalagi kepada orang yang lo cintai.” - hlm. 102.
- “Berkembangbaiklah dulu sebelum memutuskan berkembang biak.” - hlm. 103.
- “Kalau belum bisa ngidupin diri sendiri, jangan matiin masa depan perempuan.” - hlm. 104.
- “Hidup bakal jadi lebih gampang kalau kita sudah bisa belajar untuk menerima kekecewaan dan melihatnya sebagai sebuah berkah yang asing.” - hlm. 128.
- “Demi menyelamatkan kita dari jalan yang salah, terkadang Tuhan akan mematahkan kita sepatah-patahnya.” - hlm. 129.
- “Tidak masalah jika langkahmu melambat dan tak secepat orang yang lain. Sekali-kali, kita memang perlu menikmati apa yang sedang terjadi dan terus percaya bahwa pada akhirnya semua akan membaik.” - hlm. 152.
Ok, saya rasa itu sedikit cerita saya terkait novel ini. Novel yang menurut saya juga bisa membuatmu lebih terbuka pada hal-hal sederhana dan juga rasa syukur. Sampai jumpa di postingan “bertemu dan mengutip” berikutnya, ya. Semoga sehat selalu. :)
0 Comments
Posting Komentar