Sampai saat ini saya masih mengingat betul kisah di balik dibelinya timbangan ini. Timbangan pertama dan juga yang terakhir saya beli untuk almarhumah Ibu. Lima tahun lalu sewaktu almh. Ibu sakit, beberapa kali saya mengantarnya ke rumah sakit untuk rawat jalan. Dan setiap kali almh. Ibu selesai diperiksa, dokter selalu menyarankan saya untuk memantau berat badan almh. Ibu.
“Di rumah tolong dipantau berat badannya Ibu, ya, Mas, supaya dosis obatnya nanti juga bisa disesuaikan”, ujar dokter yang memeriksa almh. Ibu pada waktu itu. Dikarenakan di rumah almarhum Bapak tidak ada timbangan berat badan, saya kepikiran untuk membelinya. Tentunya sebelum membeli timbangan itu, saya lebih dulu mendiskusikan rencana itu pada almarhum Bapak.
Awalnya saya bingung mau beli timbangannya di mana. Apalagi setelah saya cek berkali-kali ternyata di kota tempat saya tinggal tidak ada satu pun toko yang menjualnya. Mau beli secara online waktu itu, tapi saya masih belum terbiasa. Untungnya seorang teman kost sewaktu kuliah di Solo menginfokan sebuah toko yang menjual timbangan berat badan. Dan ternyata lokasi tokonya itu tak begitu jauh dari kost saya sewaktu kuliah dulu.
“Coba beli ke Toko Ramayana yang deket Pasar Gedhe aja”, ujar teman saya menyarankan. Setelah menerima saran dari teman, saya berangkat motoran ke Solo pada hari Sabtu. Tiba di Solo, saya tidak langsung menuju ke toko itu. Karena lokasi tokonya melewati kost jaman kuliah, saya memutuskan untuk mampir sejenak di sana.
Sekadar nunut alias numpang istirahat sebentar di sana setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Itung-itung sekalian menengok teman-teman kost yang masih ngekost di kost itu. Di sana, saya juga sekalian ingin memastikan lokasi toko pada teman yang sebelumnya memberi saran. Usai memastikan lokasinya dengan benar, saya memulai perjalanan menuju toko tersebut sekitar pukul 10 pagi.
Betul kata teman saya, sampai di toko itu, saya bisa menjumpai banyak model timbangan berat badan yang dijual di sana. Selesai melihat-lihat timbangan yang direkomendasikan oleh pelayan toko, saya memilih timbangan ini. Timbangan sederhana yang kemudian saya beli dengan uang pemberian alm. Bapak. Selepas membelinya, saya tak sabar untuk segera pulang dan memberikannya kepada almh. Ibu.
Ketika sampai di rumah, saya lupa kata-kata yang pernah diucapkan almh. Ibu sewaktu melihat timbangan ini. Tapi yang masih saya ingat jelas, beliau tersenyum seperti halnya orang yang sedang bahagia pada umumnya. Setelah timbangan itu berada di rumah, almh. Ibu selalu rutin mengecek berat badannya. Entah di waktu pagi, siang, ataupun malam sebelum tidur. Jika almh. Ibu lupa tidak mengecek berat badannya, terlebih lagi menjelang hari pemeriksaannya, saya, alm. Bapak, atau Mbak (ibunya Caca) yang akan mengingatkannya.
Sayangnya timbangan itu tak terlalu lama digunakan almh. Ibu. Seingat saya hanya sekitar 3 bulan, sebelum akhirnya Allah memanggil almh. Ibu untuk pulang. Semenjak kepulangan almh. Ibu, timbangan ini sempat tak tersentuh cukup lama. Namun, akhirnya saya mencoba untuk menggunakannya lagi.
Tiap kali saya selesai menggunakan timbangan itu, alm. Bapak akan bertanya pada saya. “Beratnya nambah atau turun?” tanya alm. Bapak. Dan setelah saya selesai menjawab pertanyaannya, beliau akan berkata, “Gantian bapak yang nimbang. Minggu kemarin waktu bapak nimbang masih 70 kg, sekarang masih segitu nggak, ya?”
Sayangnya sejak alm. Bapak menyusul almh. Ibu pulang, timbangan ini kembali tak tersentuh lagi. Ia tersimpan cukup lama di salah satu kamar rumah alm. Bapak. Sebelum akhirnya saya temukan kembali beberapa bulan yang lalu sewaktu sedang bersih-bersih rumah beliau.
Kini, timbangannya berada di rumah Mbak. Ya, meskipun di rumah Mbak timbangan ini juga masih jarang dipakai. Tapi saya rasa untuk sementara ini biar timbangannya berada di sini (rumah Mbak). Daripada tidak terpakai sama sekali di rumah alm. Bapak. Setidaknya di rumah Mbak masih ada Caca yang sering kali berat badannya membuat ibunya penasaran. Ya, tentu, karena Caca yang masih sering minta digendong tiap kali bangun tidur. Dan tiap kali digendong, rasa-rasanya Caca makin nambah beratnya. Ya, gimana beratnya nggak nambah kalau makannya saja makin lahap? Hehe…
Btw, seperti halnya motor alm. Bapak, sepeda almh. Ibu, dan juga benda-benda lain peninggalan keduanya, saya akan berusaha untuk menjaga timbangan ini agar tetap lestari. Meskipun di satu sisi, saya sadar bahwa tidak semua barang harus disimpan dan seperti halnya manusia, barang itu juga punya masanya sendiri. Oleh karena itu, sembari menanti masanya itu tiba, tak ada salahnya bukan bila saya mengabadikan kenangannya di sini? ^_^
1 Comments
Wah koq mirip" juga, di kamar almarhumah ibu saya pun sampai saat ini masih tergeletak timbangan yang sudah mulai usang, posisinya di samping pintu kamar beliau, kalau saya main ke rumah almarhumah ibu, saya juga kadang iseng nimbang berat badan mas😟
BalasHapusPosting Komentar